(0362) 21440
dkpp@bulelengkab.go.id
Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan

Mengejar Produksi Budidaya Patin

Admin dkpp | 28 Mei 2018 | 778 kali

Naik daunnya produk fillet (daging tanpa tulang) patin lokal otomatis meningkatkan gairah produksi budidaya patin. Hal ini terjadi di Desa Bendil Jatiwetanan Kecamatan Sumber Gempol, Tulungagung, Jawa Timur. Suhaili pembudidaya patin di sana mengatakan, meningkatnya permintaan bahan baku patin dalam jumlah besar mendorong pembudidaya patin untuk menambah kolam dan jumlah tebarnya. “Pembudidaya patin yang dulunya produksi 10 petak sekarang jadi 20 petak, bahkan banyak juga kolam–kolam gurami dan lele yang diisi patin sekarang,” ujar Suhaili.  Menurutnya hal ini terjadi karena permintaan patin di Tulungagung yang meningkat signifikan dari 25 ton per hari menjadi sekitar 70 ton per hari. “Kedepan kami pasti bisa memenuhi permintaan tersebut bahkan yang lebih besar, cuma masalahnya budidaya tidak bisa instant satu dua bulan,” ungkap Suhaili. Ia bersama plasmanya saat ini sudah mampu memproduksi patin sekitar 500 ton per siklus panen.


Tidak hanya di Jawa Timur saja yang mengejar produksi, hal serupa juga terjadi pada sentra budidaya patin di Lampung. Ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) Provinsi Lampung Haji Aribun Sayunis mengatakan, “Jika pada semester kedua tahun lalu, harga patin bagus, lebih banyak disebabkan produksinya yang rendah. Pasalnya pada semester pertama tahun 2017, harga jual patin turun sehingga banyak pembudidaya yang tidak menebar patin atau beralih ke jenis ikan lainnya.” Namun tiba–tiba di pertengahan tahun 2017 permintaan fillet patin mulai meningkat, yang diikuti kenaikan kebutuhan bahan baku, padahal saat itu pembudidaya tidak banyak yang menebar karena pada periode sebelumnya harga patin melesu. Aribun mengakui saat ini produksi patin di Lampung juga meningkat seperti di Tulungagung pasca hilangnya patin illegal dari peredaran.


Menurutnya patin berpotensi besar dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah dan Tulangbawang yang memiliki banyak air. Khususnya di Kecamatan Pasir Sakti Lampung Timur, terdapat sekitar 2 ribuan hektar (ha) lahan bekas galian pasir yang telantar hampir 20 tahun. Jika pemerintah mendukung, APCI (Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia) siap menyulap lahan ini menjadi areal minapolitan budidaya patin untuk ekspor. “Tinggal dukungan dan kemauan pemerintah agar memberi kesempatan kepada APCI untuk membuktikan bahwa di areal tersebut bisa dijadikan lokasi budidaya ikan,” Aribun berharap.


Bukan hanya sekedar usulan saja, Aribun sudah membuktikan sendiri bahwa danau bekas galian pasir tersebut bisa disulap menjadi kolam patin. Danau-danau yang awalnya berkedalaman 3 hingga 6 meter yang sudah telantar hingga hampir 20 tahun, ia ‘sulap’ menjadi kolam-kolam budidaya berkedalaman 2 meter yang memberikan hasil ekonomi. Dari pengalamannya sudah empat siklus, Aribun yakin dari lahan seluas 1 ha rata-rata bisa dipanen 10 ton/siklus. Makanya dari areal 10 ribuan ha di Pasir Sakti saja maka akan dihasilkan 100 ribu ton ikan patin per tahun. Itu artinya sudah mampu memenuhi pasar AS dan Uni Eropa dari satu areal saja. Belum lagi ribua ha lahan terlantar di Sumsel, Jambi dan daerah lainnya. Belum lagi ribuan ha lahan gambut di Kalimantan yang dengan sentuhan teknologi bisa kita sulap menjadi kolam patin.


Dukungan Permodalan
Kerapkali modal menjadi kendala bagi pembudidaya patin untuk meningkatkan produksi. Aribun meminta dukungan pemerintah, baik dari alokasi lahan dan pembiayaan. Kredit usaha rakyat (KUR) yang saat ini dinikmati Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) perlu direvisi suku bunganya agar lebih rendah lagi sehingga tidak memberatkan UMKM pembudidaya ikan. Sebab pembudidaya ikan tawar jangan disamakan dengan udang dan ikan laut yang umumnya pengusaha menengah dan besar.

 

Sumber : http://www.trobos.com/detail-berita/2018/10023/mengejar-produksi-budidaya-patin