Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2015 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (BNPB) telah menuai polemik yang berkepanjangan sampai saat ini, walaupun pelaku usaha tidak memiliki pilihan lain, mau tidak mau harus menerimanya.
Tarif Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang dipungut di muka dan melonjak sangat tinggi hingga miliaran rupiah menghambat investasi kapal yang berukuran memadai untuk beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan laut lepas. Di sisi lain, tarif PHP yang melonjak ternyata tidak mampu mendongkrak penerimaan negara bukan pajak dari sektor kelautan dan perikanan periode tahun 2015-2018 yang nilainya sangat timpang dibanding dengan serapan anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) periode yang sama paling tinggi tahun 2015 Rp 9,27 triliun. Sebaliknya nilai tertinggi PNBP tahun 2018 hanya mencapai Rp 647,47 miliar (6,98%).
Ketimpangan PNBP dan anggaran ini memicu ambisi KKP untuk terus meningkatkan PNBP dengan berbagai macam cara, termasuk memaksa pelaku usaha untuk mengisi Laporan Kegiatan Usaha (LKU) setiap kapal per tahun dan Laporan Kegiatan Penangkapan (LKP) setiap kapal per triwulan dengan jumlah hasil tangkapan dipaksakan hingga 120% dari kapasitas gross tonnage kapal.
Jika dalam LKU LKP jumlah hasil tangkapan diisi kurang dari 120% dikali rumus tetap yang telah ditentukan oleh KKP, maka Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) tidak akan diterbitkan. Artinya ada pemaksaan sepihak dari otoritas untuk menaikkan jumlah hasil tangkapan walaupun tidak sesuai dengan data jumlah hasil tangkapan yang aktual.
Jumlah hasil tangkapan seharusnya berdasarkan data laporan hasil pendaratan ikan dan data e-logbook yang wajib diperiksa oleh otoritas kompeten yang ditunjuk KKP ketika kapal akan melakukan proses bongkar ikan (unloading) di pelabuhan. Jumlah hasil tangkapan ikan di laut tidak hanya tergantung jenis alat tangkap, tapi tergantung pula pada musim dan cuaca alam serta sifat ikan yang terus bergerak, adanya faktor ketidakpastian ini seharusnya dipahami semua pihak. Produktivitas kapal penangkap ikan ditetapkan secara periodik melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No 86/Kepmen-KP/2016 dasar untuk penentuan besaran PHP yang harus dibayarkan, tapi faktanya digunakan juga sebagai dasar formula pelaporan LKU LKP yang penetapan formulanya dipaksakan secara sepihak. Pelaku usaha pun sempat dipaksa menandatangani surat pernyataan yang bertanggung jawab atas kebenaran data hasil tangkapan tapi jumlahnya ditentukan oleh otoritas.
Pemaksaan ini sama saja dengan abuse of power, hanya semata-mata untuk kepentingan peningkatan data hasil tangkapan yang tidak masuk akal untuk mengejar ketimpangan PNBP yang kontribusinya semakin rendah. Pengisian LKU LKP seharusnya berdasarkan data objektif e-logbook yang aktual, dan tidak boleh dipaksakan berdasarkan imajinasi delusi.
Jumlah hasil tangkapan ikan pun tergantung jenis alat tangkap, kapal dengan alat tangkap yang produktif (menggunakan jaring) seperti purse seine, gillnet, secara teoritis akan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil tangkapan kapal dengan alat tangkap pancing, seperti longline, squid jigging, pole and line, rawai dasar.
Peraturan atau situasi yang terjadi sebelum tahun 2014 adalah di mana Surat Perintah Pembayaran Pungutan Hasil Perikanan (SPP-PHP) akan diterbitkan setelah semua persyaratan administrasi dokumen telah diverifikasi semua. Pemilik kapal harus segera membayar PHP paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah SPP-PHP diterbitkan. Jika tidak dibayarkan, maka permohonan SIPI dinyatakan batal demi hukum dan harus mengulang lagi permohonannya dari tahap awal.
Permasalahan yang banyak dikeluhkan oleh pelaku usaha kepada asosiasi adalah SIPI tidak kunjung diterbitkan setelah PHP dibayarkan. Ada yang baru terbit lima bulan kemudian, ada juga yang terbitnya lebih lama lagi. Akibatnya izin operasi yang berlaku hanya tersisa beberapa bulan saja. Bahkan ada beberapa kasus yang izinnya tidak diterbitkan melewati satu tahun, sehingga PHP yang dibayarkan hangus.
Azas hukum proporsionalitas demi keadilan seharusnya diterapkan. Setelah pelaku usaha membayar PHP, sebaliknya otoritas juga memiliki kewajiban untuk segera menerbitkan SIPI/SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Sesuai dengan Permen KP Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap, bagian ketiga Pasal 20 ayat 9 menyatakan Direktur Jenderal harus menerbitkan SIPI paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah tanda bukti pembayaran (SSBP) diterima.
Sempat pula diberitakan 3097 kapal ikan GT >30 izinnya kadaluwarsa, hal ini seharusnya ditelusuri lebih rinci, berapa banyak yang sudah membayar PHP tapi tidak diterbitkan SIPI-nya. Pemilik kapal tentu saja akan kapok jika hanya diwajibkan untuk melunasi PHP-nya, tapi proses pengurusan SIPI-nya memakan waktu berbulan-bulan bahkan PHP hangus jika melewati satu tahun. Lambannya proses perizinan tidak hanya untuk perpanjangan izin kapal, tapi juga untuk permohonan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) baru yang diajukan oleh investor yang berminat untuk investasi di sektor perikanan tangkap.
Ambisi menaikkan PNBP boleh saja setinggi langit, tapi tidak boleh merampas hak pelaku usaha untuk memperoleh izin operasi yang seharusnya berlaku satu tahun penuh. Karena, mengurangi izin operasi merupakan kesewenang-wenangan yang merupakan tindakan kontraproduktif yang menimbulkan ketidakpastian serta tidak adanya perlindungan investasi, menciptakan iklim usaha tidak kondusif yang ujungnya menghambat percepatan industri perikanan.
Setiap ikan yang didaratkan wajib dicatat oleh Otoritas Kompeten Lokal (OKL) sehingga jumlah ikan aktual yang didaratkan pasti diketahui oleh otoritas karena diawasi oleh beberapa instansi di bawah KKP seperti Kepala Pelabuhan dan Pengawas Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) yang mempersyaratkan adanya Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) sebelum penerbitan Surat Laik Operasi (SLO). Sangat ironis membaca berita bahwa ada sekitar 1,2 juta ton ikan setara dengan Rp 36 triliun hasil tangkapan ikan yang tidak dilaporkan tahun 2018. Hal ini secara tidak langsung menuduh ada kelalaian otoritas kepala pelabuhan dalam melakukan pencatatan sekaligus juga kelalaian pengawasan oleh PSDKP yang tidak berjalan efektif; ini ibarat memercik air di dulang.
Pelaku usaha pada saat mendaratkan ikannya jelas wajib dicatat dan dilaporkan oleh otoritas kompeten lokal yang akan menerima dan memeriksa Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan (STBLK), LKU LKP, dan e-logbook.
Presiden Jokowi dalam pidatonya baru-baru ini dengan lantang akan menindak tegas siapa pun yang menghambat investasi dan ekspor. Sektor perikanan tangkap seharusnya dapat menjadi sektor yang dapat menopang perekonomian nasional dalam jangka pendek (quick win) karena pemanfaatan sumber daya ikan masih sangat minim dan jauh dari optimal. Sudah saatnya bagi semua stakeholder termasuk pemegang kebijakan untuk bersama-sama meningkatkan produksi perikanan yang berkelanjutan karena saat ini negara butuh devisa untuk menutup defisit neraca perdagangan kita. Semoga ada sense of urgency dari semua pihak.
Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-4639045/proporsionalitas-perizinan-dan-pungutan-hasil-perikanan