Indonesia memiliki andalan ekspor di bidang perikanan, yakni udang. Untuk mendukung pengembangan ekspor udang lebih komprehensif, berbagai upaya terus dilakukan oleh KKP, termasuk dengan menggenjot produksi udang dari berbagai jenis. Salah satunya jenis vaname, primadona para pemilik sentra budidaya udang di Indonesia.
Komoditas yang masuk kelompok krustasea itu, sangat diminati oleh negara seperti Amerika Serikat. Pada 2018 saja, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mematok target untuk mengekspor udang hingga senilai USD5 miliar.
Oleh karena itu, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) KKP pada akhir 2018 mengembangkan teknologi untuk budidaya vaname ultra intensif. Teknologi yang diberi nama Microbubble itu, menjadi andalan baru bagi produksi perikanan budidaya nasional untuk mengatasi kendala yang biasanya muncul.
Kepala BRSDMKP, Sjarief Widjaja mengatakan, kendala yang biasa dihadapi para pembudidaya udang di antaranya biaya listrik yang tinggi, modal yang besar untuk skala tambak, limbah yang tidak dikelola dengan baik, serangan penyakit, dan daya dukung lingkungan yang menurun.
“Yang paling sering dirasakan juga oleh para pembudidaya udang, terutama yang skala kecil seperti rumah tangga, budidaya udang hingga saat ini masih belum memberikan dampak secara ekonomi bagi mereka. Persoalan itu harus dipecahkan secara bersama,” paparnya.
KKP menawarkan duet teknologi microbubble dan recirculating aquaculture system (RAS) untuk meningkatkan produktivitas budidaya udang. Menurut Sjarief, pembudidaya kecil masih kalah dengan pembudidaya udang bermodal besar. Juga adanya keterbatasan lahan budidaya udang yang masih bergantung pada lahan darat, mengingat lokasi masih jauh dari sumber air laut atau payau. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi akuakultur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, salah satunya microbubble dengan integrasi teknologi recirculating aquaculture system (RAS). Paduan teknologi itu bisa diterapkan untuk budidaya udang vaname.
“Ramah lingkungan dan berkelanjutan, itu kuncinya,” katanya.
Teknologi microbubble dan RAS, menurut Sjarief, bisa dikembangkan di lahan dengan kepadatan lebih dari 1000 ekor per meter kubik atau ultra intensif dan bisa menghasilkan produksi udang menjadi lebih baik serta hasil yang lebih banyak. Capaian itu mengalahkan capaian tertinggi sebelumnya untuk budidaya udang, yakni budidaya supra intensif.
“Jadi, sebelumnya itu maksimal hanya sanggup dengan kepadatan 400 ekor per meter kubik,” jelasnya.
Duet teknologi microbubble dan RAS juga memiliki kelebihan di antaranya tidak perlu penggantian air, tidak ada limbah perikanan yang dibuang ke lingkungan, dan bisa diaplikasikan di tengah kota yang jauh dari sumber air laut karena pengelolaan media air budidaya dilakukan secara berkelanjutan.
Kelebihan lainnya adalah proses budidaya tidak memerlukan lagi penyifonan, yaitu proses pembuangan lumpur limbah sisa pakan dan kotoran udang. Sebagai gantinya, limbah padatan pada sistem ini akan ditangkap pada penyaring fisik dan akan dimanfaatkan untuk pupuk tanaman.
Dengan segala kelebihan itu, Sjarief meyakinkan semua pembudidaya, baik pembudidaya skala besar dan industri, terutama pembudidaya skala kecil untuk menerapkannya karena diyakini mendongkrak pendapatan.
Sumber : https://www.pertanianku.com/microbubble-teknologi-ramah-lingkungan-untuk-budidaya-udang/