Kelayakan KJA Di Perairan Umun
Budidaya perikanan telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Produksinya terus meningkat jika dibandingkan dengan perikanan tangkap. Sektor budidaya menempati ruang-ruang dengan sumber air yang layak untuk budidaya. Termasuk perairan umum seperti waduk atau danau yang peruntukan semulanya bukan untuk budidaya ikan. Semula tidak banyak masalah saat ikan dibudidayakan dalam Keramba Jaring Apung (KJA) di waduk dan danau. Tetapi semakin meningkat jumlah pembudidaya dan tonase ikan yang dibudidayakan, ancaman pun datang. Yang rutin terjadi adalah upwelling (pengadukan dasar perairan) yang bisa mematikanberton-ton ikan dalam waktu yang cepat. Di penghujung akhir tahun lalu, fenomena kematian massal ikan akibat upwelling terjadi dibeberapa waduk. Kerugian bahkan mencapai miliaran rupiah. Fenomena ini acapkali menjadi fenomena rutin setiap tahun saat intensitas hujan cukup tinggi di waduk danau yang diisi dengan KJA. Tetapi musibah yang hampir rutin terjadi itu tidak menghentikan kegiatan budidaya di KJA.
Hal ini diakui oleh salah satu pembudidaya KJA di SagulingJawa Barat, Haji Rahmat. Menurut pembudidaya generasi pertama di Saguling ini, kejadian upwelling rutin terjadi di KJA sejak aktivitas ini ada. “Kalauitu dari dulu juga sudah ada,” ujar pembudidaya asli dari Saguling ini. Tetapi, diakui Rahmat, memang dampaknya terhadap ikan tidak separah saat-saat ini.Menurut Rahmat, fenomena yang terjadi pada awal-awal dulu tidak sampai menghabiskan ikan yang dibudidayakan. Paling-paling kematian massalnya hanya terjadi selama lima tahun sekali. Fenomena ini umumnya terjadi pada saat musim hujan cukup tinggi. Tetapi kata Rahmat, angin yang cukup kencang juga bisa menjadi faktor penyebab terjadinya upwelling. Angin kencang bisa mengaduk perairan danau, sehingga memungkinkan adanya pertukaran massa air di dasar dengan massa air permukaan. “Kalaupun cuacanya bagus, tapi terus-terusan berangin, misal seminggu gak berhenti-henti. Itu (limbah) ngangkat ke atas,” katanya. Dijelaskan Peneliti Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Prof. Endi Setiadi Kartamihardja, unsur hara fosfor (P) bersama nitrogen (N) yang terkandung dalam limbah menjadi penyebab utama proses penyuburan (eutrofikasi) di perairan tawar. Sementara eutrofikasi itu sendiri dapat menurunkan daya dukung perairan jika terjadi secara berlebihan. “Kondisi danau yang terlampau subur, akan menurunkan daya dukung dan kualitas airnya,” terang Endi.
Pencemaran
Upwellingdi danau yang memiliki ribuan KJA membawa limbah-limbah organik beracun dari dasar danau menuju permukaan air di mana ikan-ikan yang dibudidayakan berada. Limbah-limbah tersebut bersumber dari banyak aktivitas, tidak hanya dari budidayasaja. Terutama jika perairan umum tersebut memiliki sumber air dari sungai-sungai yang bermuara di situ. Menurut pegiat perikanan budidaya sekaligus pengurus Masyarakat Akuakultur Indonesia, Muh Husen, pencemaran perairan umum tempat budidaya KJA berada sebetulnya tidak hanya akibat aktivitas budidaya ikan saja, tetapi juga aktivitas lain. “Limbah budidaya paling berapa persen sih,” kata Husen. Tetapi yang tidak kalah besar sumbangsihnya adalah aktivitas-aktivitas lain di daratan, yang membuang limbahnya ke sungai-sungai yang bermuara di waduk atau danau tersebut. Baik limbah organik maupun anorganik. Limbah-limbah tersebut bisa dari rumah tangga, industri, bahkan pertanian. Namun, kata Husen, karena KJA yang lebih nampak aktivitasnya langsung di waduk dan danau, maka KJA sering menjadi kambing hitam dari menurununnya kualitas perairan umum tersebut. Sebagai contohnya, lanjut Husen, Sungai Citarum yang berkontribusi menjadi sumber air di Waduk JatiluhurJawa Baratmengangkut sedimen sebanyak 7,9 juta ton setiap tahunnya. Sebanyak 40 persen diantaranya adalah limbah organik dari rumah tangga. Sisanya merupakan limbah kimia dari industri dan limbah dari pertanian dan peternakan.
Hal ini juga diakui oleh Rahmat yang sudah berbudidaya tidak lama sejak Saguling difungsikan pada tahun 80-an. Dulu, kata Rahmat, pencemaran perairan oleh aktivitas di darat belum separah saat ini. Menurutnya, saat ini Citarum (salah satu sungai yang bermuara ke Saguling) telah banyak membawa pencemaran ke Saguling. Tidak hanya itu, pinggiran waduk juga bahkan sudah dipadati oleh pemukiman yang limbah rumah tangganya masuk ke waduk. “Sekarang mah sekelilingnya rumah. Buang air sabun saja berapa embersatu rumah,” jelas Rahmat. Informasi mengenai pencemaran perairan umum juga datang dari hasil Prof. Endi Setiadi Kartamihardja. Menurut pernyataan Endi, beban pencemaran total fosfor (T-P) di Danau Toba pada tahun 2017 lalu lebih besar berasal dari aliran sungai yang masuk ke danau. Konsentrasinya berkisar 0,450 – 11,3 ppm. “Dengan rata-rata 2,936 ppm,” terangnya. Rata-rata tersebut bahkan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan T-P yang berada di danaunya itu sendiri yang hanya berkisar 0,13 – 0,77 ppm. “Ternyata beban masukan T-P dari air sungai yang masuk danau sekitar 53 kali lipat lebih besar dari beban T-P yang dihasilkan dari budidaya KJA,” jelas Endi membandingkan. Jika konsentrasi T-P dari aliran sungai tersebut dikalikan dengan volumenya, maka menurut Endi, ada sekitar 96 ribu ton total fosfor (T-P) yang masuk ke Danau Toba dalam satu tahun. Dengan asumsi debit air yang masuk ke Danau Toba setiap tahunnya mencapai 32 miliar m3. Kondisi tersebut tentunya hanya terjadi di Danau Toba, perairan umum lainnya tentu akan memiliki persentase perbandingan yang berbeda pula antara pencemaran fosfor akibat KJA dan pencemaran yang dibawa aliran sungai.
Sumber : http://www.trobos.com/detail-berita/2018/01/15/12/9752/kelayakan-kja-di-perairan-umum